Minggu, 22 Januari 2012

Hikmah Bersyukur

Kekurangan adalah sifat manusia yang sangat mendasar, tak sedikit aku temukan permasalahan didalam kehidupan masyarakat baik itu kalangan atas atau menengah seringkali mengalami kehancuran hubungan baik itu dalam keluarganya atau dalam kehidupan sosialnya, terlebih lagi orang yang berstatus sosialnya rendah karena tidak dapat mengatasi sifat dasar kurang dalam diri pribadinya. 
untuk mengatasi hal yang demikian itu adalah dengan bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita semua, ketika hati merasa galau, itu karena dia menutup hatinya dengan keadaan yang Allah berikan pada saat itu. padahal ketika Allah memberikan cobaan/ujian kepada umatnya itu adalah Allah dalam memberikan pelajaran kepada umatnya untuk selalu tabah dalam menyikapi kehidupan di dunia ini.
tidakah kamu ingat akan janji Allah pada Al-qur'an Surat Ibrahim ayat 7 :

dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

 Orang yang meninggalkan doa adalah orang yang paling merugi. Sebaliknya seorang yang berdoa tidak akan pernah merugi atas doa yang ia panjatkan, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturahim. Karena doa yang ia panjatkan pasti disambut oleh Allah, bisa dengan mewujudkan apa yang ia minta di dunia atau mencegah keburukan atas dirinya yang setara dengan apa yang ia minta atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللّٰهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِـإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
“Tidak ada seorang yang berdoa dengan suatu doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang ia minta atau Allah menahan keburukan atas dirinya yang semisal dengan apa yang ia minta selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturahim.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (5678))
Oleh karena itu janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada Rabbnya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan yang sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena permintaan itu merupakan bukti ketergantungan yang sangat kepada Allah dan kebutuhannya kepada Allah dalam semua urusan. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengatakan,
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلْهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya.” (HR at-Tirmidzi (3373) dan Ibnu Majah (3727) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at-Tirmidzi)

Sabar adalah satu kata yang sering kita ucapkan dan kita dengar, namun tidak mudah untuk kita amalkan dengan sempurna. Memang sabar telah diperintahkan dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan kenyataan ujian yang selalu dialami manusia dalam kehidupannya di dunia menjadikan sabar (seharusnya) bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Barangkali kita sering mendengar orang berkata, “… tapi sabar khan ada batasnya!” atau “… apa kita harus bersabar terus…?” dan sebagainya. Musibah atau ujian yang demikian bertubi-tubi terkadang menjadi pembenaran atas ucapan tersebut. Namun bagaimanakah sabar yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul?

Kesabaran Nabi Nuh ‘alaihis salam

Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah mengajak umatnya ke jalan Allah selama 995 tahun secara rahasia dan terang-terangan, malam dan siang hari, memberikan kabar gembira juga ancaman, akan tetapi beliau hanya mendapatkan pembangkangan dari mereka, bahkan pelecehan dan ejekan. Kendati demikian Nabi Nuh tetap berdakwah dalam waktu tersebut tanpa kesal dan bosan. Setiap kali umatnya menentang, maka beliau merubah caranya dalam berdakwah. Bagaimanapun keadaannya, beliau amat belas kasihan kepada umatnya dan takut jika mereka tertimpa adzab Allah yang sangat pedih. Beliau sangat penyantun dan lapang dadanya dan sungguh telah menjadi teladan dalam kesungguhan dan telah berada dalam puncak kesabaran.
Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an:
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًافَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًاوَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًاثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًاثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
“Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (Nuh: 5-9)
Kesabaran Nuh bukan hanya dalam menghadapi kaumnya, juga kala menghadapi keluarganya. Inilah fitnah dan cobaan yang hanya dihadapi oleh orang-orang yang bersabar.
Seorang da’i terkadang diberikan ujian dan cobaan dengan sikap kaum dan teman-temannya, akan tetapi ketika dia kembali kepada keluarganya, maka ia mendapatkan ketenangan dan penyejuk hati. Adapun Nuh, beliau dicoba dengan sikap kaumnya dan keluarganya sekaligus. Allah berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Tahrim: 10)
Bukan hanya isterinya yang menjadi musibah dalam keluarga Nuh, akan tetapi anaknya pun menolak Islam dan membantah ayahnya sehingga masuk ke dalam golongan kafir. Nuh berusaha keras menyelamatkan anaknya, akan tetapi harapan tinggal harapan, Allah berfirman:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 42-43)
Nuh telah dicoba dan bersabar, ia berdo’a kepada Allah dan mendapatkan kemenangan, Allah pun memberikan kebaikan sebagai ganti atas apa yang diambil darinya. Allah menggantinya dengan memberikan anak cucu yang melanjutkan keturunan.
وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (ash-Shaffat: 77)

Serba-Serbi Sabar

Sabar yang banyak diperintahkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ini meliputi 3 keadaan:
1. Sabar dalam menahan jiwa dalam ketaatan dan senantiasa menjaganya, memupuknya dengan keikhlasan dan menghiasinya dengan keilmuan. Di sini tetap berlaku seperti halnya ibadah yang lain, yaitu perlunya keikhlasan karena Allah dan perlunya ilmu agar kesabaran kita benar adanya.
2. Sabar dengan menahan diri dari segala kemaksiatan dan berdiri tegak melawan hawa nafsu.
3. Ridha dengan qadha dan qadar Allah tanpa mengeluh. Adapun mengeluh berupa mengadukan kepada Allah maka tidak mengapa, seperti ucapan Nabi Ya’qub ‘alahis salam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Yakub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Yusuf: 86)
atau Nabi Ayyub ‘alahis salam,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (al-Anbiyaa’: 83)
Dengan sabar maka akan diketahui siapakah yang berada dalam barisan kaum mukminin dan membersihkan mereka dari orang-orang yang bisa melemahkan barisan mereka. Kita ingat kisah kemenangan pasukan Thalut melawan Jalut,
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249)
Beberapa medan kesabaran adalah sabar dalam menghadapi bencana dunia, dalam menghadapi hawa nafsu, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dalam berdakwah, dalam kesempitan, dalam menghadapi anak-anak & isteri, dalam menghadapi saudara seagama dan sabar dalam menuntut ilmu.
Sabar mencakup segenap akhlak islami. Sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) adalah sabar dalam menahan syahwat perut dan kemaluan. Syaja’ah (keberanian) adalah bersabar di medan tempur. Al-hilm (santun) adalah bersabar dalam menghadapi sikap membalas ketika marah. Lapang dada adalah bersabar dalam menghadapi rasa kesal. Qana’ah adalah bersabar dengan merasa cukup dengan yang ada. Kitman (menjaga rahasia) adalah bersabar dalam menyembunyikan satu urusan. Zuhud adalah bersabar dengan meninggalkan kelebihan dalam hidup.
Demikianlah bahwa pohon akhlak Islam itu digiring oleh sabar, karena itulah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya tentang iman, beliau menjawab, “Toleransi dan kesabaran.” (Hadits hasan dikeluarkan oleh al-Hakim III/626, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah III/357 dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilali menghasankan hadits ini)
Sabar memiliki beberapa syarat:
1. Ikhlas
2. Tidak mengeluh
3. Sabar pada waktunya terjadi musibah dan inilah sabar yang terpuji lagi berpahala.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan. Beliaupun berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku” Selanjutnya dikabarkan kepadanya, “Yang menasehatimu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah aku tadi tidak mengenalimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” (HR. al-Bukhari III/148, al-Fath dan Muslim VI/277-288 an-Nawawi)
Semoga Allah selalu menolong kita untuk bisa bersabar dalam setiap keadaan.